Selasa, 11 Juni 2013

pemikiran yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Sebuah artikel yang dimuat oleh harian
umum al-Ahraam telah membuat Sang
Imam dan murid-muridnya gelisah.
Bagaimana tidak, artikel yang ditulis oleh si
Fulan itu berisi pemikiran yang sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Si Fulan mengatakan bahwa tidak ada
kewajiban bagi manusia untuk menutup
auratnya. Sebab secara fitrah, tiap manusia
dilahirkan dalam keadaan telanjang. Maka
ia menyerukan agar budaya telanjang itu
dilestarikan di tengah masyarakat Mesir.
Maka para ikhwan yang merasa marah,
langsung membuat artikel bantahan dan
siap dikirim ke harian umum yang sama.
Namun sebelum itu, mereka mengutus
seorang ikhwan bernama Mahmoud yang
merupakan penulis artikel bantahan itu,
untuk meminta pendapat dan izin dari Sang
Imam.
“Ya, Ustadz. Bagaimana pendapat anda?”
tanya Mahmoud pada Sang Imam yang
tampak terdiam lama setelah membaca
artikel bantahan itu.
“Akhi…” Sang Imam menatap Mahmoud.
“Artikelmu ini sangat bagus dan penuh
argumentasi yang jitu. Tapi…”
“Tapi apa ya, Ustadz?” tanya Mahmoud
heran. Wajah Sang Imam yang teduh itu
berubah galau. Ditatapnya artikel bantahan
yang tergenggam di tangannya.
“Dalam pikiranku, tergambar beberapa
dampak dari tulisanmu ini jika ia jadi dimuat,”
ujar Sang Imam pelan sambil kembali
menatap Mahmoud.
“Pertama, artikel yang ditulis si Fulan itu
sangatlah tajam, menusuk hati kaum
Muslimin. Sementara konsumen pembaca
harian al-Ahraam itu sendiri relatif sedikit
dibanding jumlah penduduk Mesir secara
keseluruhan. Dan rata-rata, mereka tidak
membacanya dengan serius.”
Mahmoud menyimak uraian Sang Imam
dengan hati bertanya-tanya. Ia belum
paham maksud gurunya itu.
“Jika kita menurunkan bantahan terhadap
artikel tersebut, maka akan timbul beberapa
titik rawan. Diantaranya, justru akan
mengekspos artikel tersebut dan
memancing keingintahuan bagi mereka
yang belum membacanya. Sementara
yang sudah membaca, akan kembali
terpancing untuk membaca dengan serius.
Dengan demikian, tanpa sadar kita telah
memicu perhatian masyarakat kepada
sesuatu yang buruk, yang bisa saja
mendatangkan mudharat bagi orang-orang
yang berjiwa lemah. Kalau artikel si Fulan itu
kita diamkan saja, insya Allah ia akan
tenggelam dengan sendirinya,” tutur Sang
Imam pelan. Mahmoud masih tampak
belum puas dengan penjelasan itu, meski ia
mulai bisa meraba maksud gurunya.
“Akhi, BANTAHAN ADALAH SALAH SATU
BENTUK TANTANGAN YANG AKAN
MEMANCING SIKAP KERAS KEPADA
BAGI YANG DIBANTAH. Dan sekalipun ia
menyadari bahwa ia salah, tapi BANTAHAN
ITU AKAN MEMBUATNYA BERSIKUKUH
PADA KESALAHANNYA. Ketahuilah, Akhi,
si Fulan itu telah terpengaruh oleh sebuah
lingkungan yang membuatnya berpikir
seperti itu. Dan aku melihat, TUJUANNYA
MENULIS ARTIKEL ITU BUKANLAH
UNTUK MENGUNGKAPKAN APA YANG
MENJADI KEYAKINANNYA. MELAINKAN
SEKEDAR MENCARI PERHATIAN
DENGAN CARA MENGHALALKAN
SEGALA CARA.”
Sang Imam diam sejenak. Sementara
Mahmoud yang duduk di hadapannya
masih menunggu kelanjutan kalimatnya
dengan raut serius.
“Akhi, jika sampai si Fulan bersikukuh dalam
kesalahan itu akibat bantahan yang kita
sampaikan, maka secara tidak langsung kita
telah menghalangi pintu taubat baginya. Si
Fulan itu masih muda. MEMBUKAKAN
PINTU KEBENARAN BAGINYA JAUH
LEBIH BAIK DARIPADA
MELEMPARKANNYA JAUH-JAUH DARI
KEBENARAN YANG SEBENARNYA
MENJADI HAK DIA. Justru kewajiban
kitalah untuk membantunya meraih
kebenaran itu. Aku tidak ingin, emosi yang
bermain dalam dada kita membuat
seseorang terhalang dari hidayah Allah.
Begitulah pemikiranku. Bagaimana
menurutmu, Akhi?” Sang Imam menutup
penjelasannya.
Mahmoud yang sejak tadi diam
menatapnya, perlahan menunduk. Kini
semakin disadarinya betapa Sang Imam
adalah manusia yang sangat bijak. Sosok
yang penuh kharisma dan telah melebur ke
dalam kancah dakwah secara jasad, ruh,
akal, dan hartanya. Pengetahuan yang
dalam dan hubungannya yang erat
dengan Allah telah menjadikan
pandangannya demikian luas, nalurinya
peka, mata hatinya tajam, jauh menembus
ke depan. Ya, ia telah dianugerahi
bu’dunnazar (pandangan yang jauh ke
depan), sesuatu yang jarang dimiliki oleh
orang biasa.
Perlahan Mahmoud mengangkat
kepalanya. Ditatapnya wajah Sang Imam
sambil tersenyum. “Anda benar sekali ya,
Ustadz. Saya setuju dengan pendapat
anda.”
Sang Imam pun tersenyum melihat
muridnya mau memahami apa yang ada
dalam pikirannya. Maka perlahan
dirobeknya artikel yang tergenggam di
tangannya saat itu.
***
Epilog
Waktu terus berlalu, dan artikel si Fulan
yang membahayakan itupun berlalu begitu
saja. Masyarakat sepertinya tidak terusik
sama sekali. Namun, apakah yang terjadi
pada si Fulan sendiri? Sejarahlah kemudian
yang mencatat bahwa ia telah menjelma
menjadi sosok paling heroik di kancah
dakwah.
Ia telah tercatat sebagai salah seorang
prajurit Islam yang gagah berani, yang
menyuarakan kebenaran dengan suara
lantang meski penjara mengurung jasadnya
selama pemerintahan Gamal Abdul Nasser.
Ia telah mempersembahkan kepada
ummat, tafsir Al-Quran yang sangat luar
biasa Fi Zilalil Quran, yang ia tulis selama di
dalam penjara. Ia telah menjadi orang
terdepan dalam perjuangan menegakkan
kalimatullah di Mesir dan menutup sejarah
hidupnya sebagai seorang syuhada di tiang
gantungan pada tanggal 29 Agustus 1966.
Dialah… Sayyid Quthb rahimahullah! ^___^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar